Cerita Gairah Tante Muda Ngentot ABG - Setelah makan siang aku kembali ke
kantor dan menyelesaikan sebagian pekerjaanku hari itu dan dua jam
sebelum waktu pulang, aku menyerahkan sisa pekerjaan itu ke bawahanku.
Mereka tidak terlalu senang dengan tugas mendadak itu, tapi nampaknya
mereka sudah terbiasa dengan perangaiku. Mereka paham bahwa aku tidak
ingin menjadi lelah, karena sepulang kerja nanti aku akan pergi bersama
teman-temanku, eksekutif wanita muda yang lain. Hanya saja mereka tidak
tahu kalau hari itu, aku sudah membatalkan acara jalan-jalan kami.
Kukemudikan sedanku ke arah rumahku,
namun kemudian berbelok menuju tempat lain. Sekitar 15 menit kemudian
aku berhenti di samping sebuah lapangan basket di dalam suatu perumahan.
Di sana sejumlah remaja SMU sedang bermain. Aku turun dari mobilku dan
duduk di samping lapangan tempat tas-tas mereka diletakkan, lalu
menyaksikan permainan mereka. Salah satu dari mereka, mengenakan kostum
basket warna merah, yang kemudian melihatku, tersenyum dan melambaikan
tangannya. Aku membalas dengan cara serupa. Dia adalah Donny, anak salah
satu bawahanku yang sedang kutugaskan pergi ke luar kota selama
beberapa hari. Hubunganku dengan keluarga mereka cukup akrab untuk
mengetahui bahwa Donny mengikuti latihan basket dua kali seminggu di
sana.
Sepuluh menit kemudian permainan
berakhir dan sejumlah remaja itu menuju ke tas mereka, yaitu ke arahku.
Aku berjalan menuju Donny membawa sebotol minuman yang sudah kusiapkan
pagi tadi.
“Don, minum dulu nih. Ternyata tadi di mobil Tante masih ada sebotol”, tawarku.
“Oh iya, Tante, makasih!”, jawabnya tersengal.
Nampaknya ia masih kelelahan. Donny
mengambil botol dari tanganku dan segera menghabiskan isinya. Kami
berjalan menuju tasnya. Dan ia mengeluarkan handuk untuk menyeka
keringatnya. Aku mengintip sebentar ke dalam tasnya dan bersyukur aku
memberikan botol minumanku kepada Donny sebelum ia sempat mengambil
minuman bekalnya sendiri.
Sebagai pemain basket, Donny cukup
tinggi. Dari tinggi badanku yang 168 cm kuperkirakan kalau tinggi Donny
sekitar 180-an cm. Bisa kuperhatikan tangan Donny cukup kekar untuk anak
seusianya, sepertinya olahraga basket benar-benar melatih fisiknya.
Figur badannya menunjukkan potensinya sebagai atlet basket. Aku beralih
ke wajahnya yang masih nampak imut walau basah oleh keringat. Dengan
kulit yang kuning, wajahnya benar-benar manis. Aku tersenyum.
Setelah menyeka wajahnya, Donny memperhatikanku sebentar dan berkata, “Tante Nia dari kantor? Kok pake ke sini?”
“Nggak, males aja mau ke rumah, enggak
ada temannya sih. Om Harry lagi ke Singapura. Jadi tante jalan-jalan..
terus ternyata lewat deket-deket sini, sekalian aja mampir..” ujarku
setengah merajuk.
Ia beralih sebentar untuk ngobrol dan bercanda dengan temannya.
“Sama dong Tante, Donny lagi males nih di rumah, nggak ada orang sih!”
“Nggak ada orang? Ibu sama adik kamu ke mana?”
“Nginep di rumah nenek, besok sore pulang. Aku disuruh jaga rumah sendirian”. Donny menaruh handuknya dan duduk di sampingku.
“Oh, kebetulan banget ya..” kata-kata itu tiba-tiba terlepas dari mulutku.
Yang dikatakan Donny benar-benar di luar
dugaanku, tapi justru membuat keadaan jadi lebih baik. Aku tidak perlu
bersusah payah untuk mencari tempat ber..
“Kenapa, Tante? Kebetulan gimana?”
“Iya, kebetulan aja kita sama-sama cari teman..” Donny tersenyum.
“Sebenarnya.. Ehh.. Tante ada perlu sih
ke rumahmu. Ada file laporan penting yang harus diambil segera, padahal
papa kamu masih di luar kota. Kira-kira bisa nggak ya, tante ke rumahmu
ngambil file itu? Tante sudah bilang kok sama Papa kamu, katanya tante
disuruh ngambil aja di rumah..”
“Oh, nggak apa-apa kok. Cuma mungkin
agak lama ya, Tante. Soalnya aku musti cari-cari kunci cadangannya
lemari papa. Biasanya selalu dikunci sih, kalau pergi-pergi. “
“Nggak masalah, Tante nggak buru-buru. Kita pergi sekarang?”.
Donny mengangguk lalu kami berjalan
menuju mobilku. Donny melambaikan tangan pada teman-temannya dan
meneriakkan kata-kata perpisahan. Kuperhatikan teman-teman Donny saling
berbisik dan tertawa-tawa kecil melihat kami pergi.
“Di rumah benar-benar nggak ada orang yah, Don?”
“Cuma aku doang, Tante. Untungnya sih Mama ngasih uang lumayan buat cari makan.”
“Aduh.. Kaciann..” kataku manja. “Tapi biasanya seumuran kamu pasti ada pacar yang nemenin kemana-mana kan..”
Donny menoleh dan tersenyum padaku. “Wah, Donny nggak punya Tante. Belum ada yang mau!”
“Ah, masa? Cowok keren kaya kamu gini
loh!” Kutepuk pelan lengannya, mencoba merasakan sejenak kekokohannya.
“Kalau Tante sih, sudah dari dulu Donny tante sabet!”
Donny hanya tertawa ramah, ia sudah
biasa dengan gaya bercandaku yang agak genit itu. Padahal sebenarnya,
sosok Donny benar-benar sudah mempesonaku saat ia diperkenalkan padaku
dan Mas Har setahun yang lalu.
Perjalanan ke rumah Donny memakan waktu
sekitar 30 menit karena jalanan sudah penuh oleh mobil-mobil orang lain
yang menuju rumah masing-masing. Dalam perjalanan aku tetap
memperhatikan Donny. Aku ingin tahu apakah minuman yang tadi Donny minum
sudah menunjukkan reaksinya. Biasanya aku menggunakan obat itu untuk
memancing nafsu Mas Har dan mempertahankan staminanya. Aku mungkin sudah
gila.. Mencoba untuk tidur dengan bocah SMU anak pegawaiku sendiri..
Tapi biarlah.. Gelegak di diriku sudah tak mampu lagi aku bendung.
Tadi pagi aku memberikan dosis ekstra
pada minuman yang kuberikan pada Donny, dan sekarang aku penasaran akan
efeknya pada tubuh muda Donny. Bisa kulihat sekarang napas Donny mulai
naik-turun lagi setelah sempat tenang duduk dalam mobil. Duduknya juga
nampak sedikit gelisah. Aku menepi. Kami sudah sampai.
Ia membuka pintu dan mempersilahkan aku
masuk. Aku duduk nyaman di sofa ruang tamu dan ia menuju dapur untuk
menyiapkan segelas minuman buatku. Rumah Donny tidak besar, sekedar
cukup untuk tinggal empat orang. Sekali lagi aku menanyakan pada diriku
sendiri, apakah aku ingin melakukan hal ini.. Dan sedetik kemudian aku
menjawab: aku memang benar-benar menginginkannya..
KutDonnylkan jas dan blazerku,
menyisakan sebuah tank-top putih untuk melekat di bagian atas tubuhku.
Tadi pagi aku sudah mematut diri di kaca dengan tank-top ini. Sebenarnya
ukurannya sedikit lebih kecil dari ukuranku, hingga cukup ketat untuk
memperlihatkan dengan jelas bentuk payudaraku, bahkan puting susuku. Aku
tersenyum geli ketika meihat diriku di cermin pagi itu. Rok miniku
kutarik sedikit lebih tinggi, dan kusilangkan kakiku sedemikian rupa
hingga Donny yang nanti kembali dari dapur akan memperhatikan pahaku
yang mulus.
Donny keluar beberapa menit kemudian
membawakan segelas sirup dengan batu es. Ia terdiam sejenak sebelum
melanjutkan langkahnya menuju meja di depanku.
“Panas banget, Don. Makanya Tante copot blazernya”, kataku setengah mengeluh.
“Iya, memang di sini nggak ada AC seperti di rumah Tante”.
Suara Donny sedikit terbata, nafasnya
naik-turun, dan mencoba tersenyum. Kulihat Donny juga berkeringat, tapi
aku tahu hal itu bukan hanya karena panas yang ada di ruang tamu ini.
Aku mengambil gelas yang dingin itu dan menggosokkannya pada bagian
bawah leherku yang berkeringat. Segar sekali..
“Ahh.. Seger baget Don. “
Donny menelan ludahnya. Kuminum sedikit sirup itu.
“Uhh.. Top banget. Enak, Don”, ujarku setengah mendesah.
“Hmm.. Tante.. Donny.. Donny cari kunci
lemarinya papa dulu ya..” kata Donny. Anak ini pemalu juga, kataku dalam
hati. “Oh, iya deh, Tante tunggu. ” Donny kemudian bergegas menuju satu
lemari besar di samping sofa dan mulai membuka laci-lacinya.
Aku bersabar sedikit lebih lama. Aku
tahu dari tingkah laku Donny yang makin gelisah, kalau obat itu sebentar
lagi akan benar-benar memberi efek. Setelah 10 menit mencari dan belum
menemukan kuci itu. Aku berjalan ke arah Donny yang masih membungkuk,
mencari kunci itu di salah satu laci.
“Don.. Apa nggak lebih baik..”
Donny lalu berdiri dan membalikkan
badannya menghadapku. Aku tahu dia sempat mencuri pandang ke arah dadaku
sebelum melihat wajahku. Ia menelan ludahnya. Aku mendekat padanya
hingga jika aku melangkah sekali lagi tubuhku akan langsung bersentuhan
dengannya. Donny mencoba mundur, tapi lemari besar itu menghalanginya.
“Kenapa..? Tante..?”, nafasnya terasa menyentuh dahiku.
Aku mendongak sedikit, menatap wajahnya.
“Lebih baik kamu..”
Tanganku meraba otot bisepnya, padat..
“Mandi dulu..”
Tanganku yang satu menyentuh tepi bawah kostum basketnya..
“Terus ganti baju..”
Kedua tanganku mulai mengangkat kausnya..
“Kan, kamu keringetan gini..”
Tanganku setengah meraba otot-otot perutnya yang keras sambil terus membawa kausnya ke atas..
“Nanti.. Kuncinya.. Dicari lagi..”
Dadanya cukup kokoh, dan terasa sekali
paru-parunya mengembang dan mengempis semakin cepat, jantungnya berdegup
kencang.. Wajahku terasa panas, jantungku ikut berdetak cepat. Donny
mengangkat lengannya dan berkata, “Ya Tante..”
Tapi suara Donny lebih mirip desahan
berat. Kuangkat lagi kausnya ke atas dan Donny dengan cepat meneruskan
pekerjaanku dan kemudian melemparkan kausnya ke samping. Donny sekarang
bertelanjang dada, dengan celana selutut masih dikenakannya. Aku
merapatkan badanku padanya namun tiba-tiba aku berhenti setelah
merasakan sesuatu mengenai perutku. Aku mundur sedikit dan melihat ke
arah dari mana sentuhan di perutku berasal.
“Oh..!”, bisikku sedikit terkejut.
Dari dalam celananya terlihat tonjolan
yang cukup panjang dan besar. Penis Donny.. Siluetnya terlihat jelas
dari celana basketnya yang longgar. Aku melihat wajah Donny. Ia juga
melihat tonjolan di celananya itu, sedikit terkejut, kemudian melihatku.
Napasnya menderu.
“Eh, maaf tante.. aku.. Nggak pernah.. Pake..”
“Celana dalam? Nggak.. Pernah..?” potongku.
Ia hanya menggeleng dan kembali menatapku.
Aku tersenyum. “Nggak apa-apa.. Lebih baik gitu..”
Wajah imutnya memperlihatkan
keterkejutan. Tapi aku segera kembali merapatkan tubuhku dan maju lebih
berani. Kucengkram batang kemaluannya dari luar celananya. Donny nampak
semakin terkejut dan badannya berguncang sedikit. Kemudian semua
berjalan menuruti nafsu kami yang bergelora.
Donny memelukku, membawa bibirku rapat
ke bibirnya dan melakukan ciuman paling bernafsu yang pernah aku terima
dalam satu dekade ini. Lidahnya bergelut liar dengan lidahku, bibirku
digigitnya pelan.. Kupegang kepalanya dan kurapatkan terus dengan
wajahku. Kuacak-acak rambutnya seakan aku ingin seluruh tubuhnya masuk
ke dalam ragaku.
Donny mencoba menyudahi ciuman itu. Aku
khawatir ia akan menolak untuk bertindak lebih jauh, hingga aku tidak
membiarkannya. Tapi aku sudah sulit mengatur napasku, dan akhirnya
kulepaskan wajahnya. Aku tersengal, mencoba menghirup udara
sebanyak-banyaknya. Ternyata Donny sama sekali tidak berhenti. Saat aku
ditaklukkan nafsu saat berciuman tadi, Donny sudah berhasil melepaskan
tank-topku tanpa sedikitpun aku menyadarinya. Tank-top itu kini berada
di bawah kakiku. Dan kini Donny mulai menghisap dan menjilati leherku
dengan buas.
“Ohh.. Anngghh..” ini dia yang selama ini kudambakan, gairah dan energi yang begitu meluap..
Lidah Donny bergerak lagi ke bawah..
Membasahi belahan dadaku.. Berputar sebentar di sekitar puting kiriku,
memberikan sensasi geli yang nikmat.. Kemudian Donny melahap payudaraku.
“Ouuhh.. Kamu.. Ahh.. Kurang ajar yahh.. Hmmpphh.. Terusin Anngg.. Ahh.. Mmmhh..”
Bocah ini.. Benar-benar bernafsu.. Ia
lalu melakukan hal sama pada payudaraku yang sebelah kanan dan segera
membawaku ke ambang orgasme.. Aku merasakannya.. Sedikit lagi.. Tapi ia
tiba-tiba berhenti, membuatku melihat ke bawah, ingin tahu apa yang
terjadi. Ia berlutut, dan mencoba melepaskan rok miniku. Tanganku
bergerak cepat membantu Donny dan dua detik kemudian rok itu sudah jatuh
ke lantai. Aku mencoba melepaskan pula celana dalamku, namun Donny
lebih cepat.. Ia merobeknya.. Sejurus kemudian lidahnya beraksi lagi..
Dalam liang kewanitaanku..
“Donnyhh.. Kamuhh.. Nggak sopann..”
Kumajukan pinggulku, rasanya aku ingin
membenamkan seluruh wajah Donny ke dalam vaginaku.. Lidah Donny yang tak
terlatih, membuatku harus membantunya menyentuh daerah yang tepat
dengan menggerakkan kepala bocah itu.
“Uuuhh.. Di sini Anngghh.. Ohh.. Yeeaahh..!!”
Donny terus bergerilya dalam gua-ku hingga aku merasakan gelombang kenikmatan yang hebat.
“Angghh.. Tante.. Mau.. Aaahh!!”
Tubuhku menggeliat seiring dengan
orgasme yang melandaku. Donny dengan liar menjilati cairan-ku sampai
tetes yang terakhir. Kakiku terasa lemas.. Pelan-pelan aku terduduk..
Dan kemudian berbaring di lantai.. Merasakan sisa-sisa kenikmatan yang
telah Donny berikan sambil terengah-engah..
Aku melihat ke arah Donny. Ia juga
sedang terengah-engah. Badannya berdiri kokoh di hadapanku. Badan
kekarnya yang berkeringat, berkilat oleh pantulan matahari sore yang
menerobos jendela kamar. Dan.. Tak ada lagi celana basket yang melekat
di badan itu. Pistolnya.. Mengacung tegak ke arahku. Batangnya begitu
besar.. Pasti lebih dari 20 cm, dan tebal. Rambut tipis dari kemaluannya
berlanjut ke atas menuju pusarnya. Oh.. Begitu muda dan gagah..
“Tante.. Aku..”
“Giliran Tante, Don!”
Aku berdiri, menghimpit tubuhnya dan
menjilati badan remaja itu. Tangannya yang kuat mengelus mendekapku
sambil mengusap punggungku. Saat kugigit-gigit putingnya, Donny mendesah
perlahan dan rambutku diacaknya. Tanganku dengan mudah mendapati
penisnya, kemudian kukocok pelan. Sementara itu lidahku mengembara di
otot-otot perut Donny.
Kini aku sampai pada pusarnya. Lidahku
terus bergerak turun dan kulahap pucuk batang kejantanan Donny. Donny
menggeram. Kukulum batangnya dan aku puas mendengar Donny terus
mendesah.
“Ooohh.. Tante.. Ahh..”
Kucoba untuk menelan lebih dalam, tapi ukuran penis Donny terlalu besar. Sudah saatnya..
“Ayo Don, biar tante ajarin caranya jadi lelaki..”
Kuajak dia berbaring di lantai, lalu
pelan-pelan aku duduk di perutnya sambil memasukkan pistol Donny ke
‘sarung’-nya, memastikan agar aku mendapatkan kenikmatan yang aku mau.
“Aaahh.. Donny.. Punya kamuhh.. Besaarr.. Uuhh..”
Aku membelai dadanya, dan mulai bergerak naik-turun. Donny melenguh dan memejamkan mata, meresapi setiap gerakan yang kubuat.
“Uuuhh.. Eegghh.. Aduhh.. Nggak pernah.. Donny.. Ngerasain.. Enak kaya ginihh..”
Setelah mulai terbiasa dengan ritmeku, Donny membuka matanya. Tangannya memegang kedua payudaraku yang naik turun.
“Tante Nia.. Oohh.. Seksi banget.. Ahh..”
Ia memerasnya.. Dan terasa sangat
nikmat.. Kini aku yang menghayati permainan Donny. Tapi aku segera
tersadar, kali ini AKU yang akan memuaskan Donny.
Aku mempercepat gerakanku, sambil sesekali memutar-mutar pinggulku.
“Ohh.. Tante.. Terusiinn.. Enaakk.. Aahh.. Mmmhh..”
Tangannya beralih ke pantatku, mencoba
ikut mengatur ritmeku. Kuberikan apa yang Donny minta, kujepit batangnya
dan aku semakin bergoyang menggila.
“Gini kan.. Mau kamu, Angghh.. Ehh..”
“Uhh.. Yaa.. Ohh.. Aaagghh.. Kenceng bangett.. Ayo tante..”
Aku bagai lupa daratan, kenikmatan yang kurasa benar-benar membius, dan sebentar lagi.. Tinggal sebentar..
“Tantee.. Oooaagghh!! Oh, yeaahh!!”
“Dooonnn.. Aaagghh.. Ohh.. Ohh..”
Aku merasakan kenikmatan paling dahsyat
dalam hidupku, bersamaan dengan ejakulasi Donny. Kami berpelukan,
berguling sementara Donny masih meneruskan tikaman penisnya dalam
vaginaku, membawaku semakin jauh dari dunia ini..
“Ohh.. Donnya.. Ohh.. Kamu.. Udahh.. Bukan perjaka.. Lagi.. Ahh..”
Ia menciumiku, memanjakan payudaraku, membelai-belai rambutku..
Dengan napas yang tersengal-sengal Donny berbisik di telingaku,
“Duhh.. Nggak nyangkah.. Tante.. Nakal
banget.. Ahh.. Tapi Donny.. Suka.. Dinakalin.. Tante.. Ehh.. Kontol
Donny masih ngaceng nihh.. ehh.. Mau Tante apain lag
0 komentar:
Posting Komentar